17 Februari 2008

Kebebasan Berkresasi Melalui Lukisan Kaca

MENGKONDISIKAN KEBEBASAN KREASI BERKEMBAN

TEMA ibarat sebuah pintu masuk pada sebuah karya seni dan merupakan salah satu aspek paling luar yang lebih cepat dijamah publik. Ada yang menganggap, untuk membangun tema yang indah harus melalui bentuk yang indah pula. Jika tidak, sebuah kaya seni dianggap tidak padu atau cacat.

Maka teknik berkarya seni menjadi sebuah persoalan yang tidak boleh diabaikan. Pada tema pulalah ada pesan atau makna atau yang disebut isi dari sebuah karya seni. Oleh sebab itu, lukisan-lukisan Bali klasik serta karya di awal perkembangan seni lukis Bali gaya Ubud, membangun tema atau isi serta bentuk yang indah. Dengan kata lain, melukis berarti menerapkan disiplin yang ketat untuk mewujudkan bentuk dan isi yang indah. "Seni itu indah".

Sang Pelopor

Jika dari situ melihat lukisan-lukisan kaca dari Desa Nagasepaha, Buleleng, yang dikerjakan sejak 1927, ada banyak hal menarik yang dapat diceritakan. Mewujudkan suatu yang indah bukanlah hal mudah ketika harus berhadapan dengan bahan kaca sebagai kanvas, warna yang khusus, serta teknik yang menyesuaikan. Persoalan ini mengemuka pada pameran lukisan kaca Desa Nagasepaha pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2007 ini.

Sejak tokoh pertama yakni I Ketut Negara -- kemudian diberi sebutan Jero Dalang Diah -- yang dalang sekaligus ahli membuat wayang kulit mengerjakan seni lukis kaca, sampai kini generasi pelukis Desa Nagasepaha mengerjakan lukisan kaca. Ini sudah sekitar 70 tahun berjalan, dimulai sekitar tahun 1927. Konon, Jero Dalang Diah semula didatangi oleh I Wayan Nitia yang ingin dibuatkan lukisan wayang dengan menyodorkan contoh lukisan kaca dari Jepang. Itulah awal mula munculnya seni lukis kaca Nagasepaha. Demikian seorang dosen STKIP, IGN Wiednyana, menuturkan suatu hari ketika lukisan kaca Nagasepaha dipamerkan di Museum Puri Lukisan Ubud pada 23 April s.d. 23 Mei 2000.

Kini, karya-karya seni lukis kaca Desa Nagasepaha dipamerkan di Ruang Kriya di arena PKB 2007. Di situ ada banyak ragam gaya. Ada gaya seni lukis wayang didukung Jero Dalang Diah, sang pelopor atau bapak dari seni lukis kaca Desa Nagasepaha. Diikuti antara lain oleh I Nyoman Subrata (1942), I Nyoman Netep (1960), Kadek Subrata (1982), I Made Sukrawa (1972), I Ketut Sekar (1949), I Wayan Arnawa, I Ketut Suamba (1942), Gede Kenak Eriada dan salah satu pelukis perempuan Ni Made Nurining. Kemudian gaya lain, di luar gaya wayang didukung pelukis muda seperti I Ketut Sentosa.

Beberapa lukisan gaya wayang dibangun dengan latar belakang pepohonan dibuat naturalis. Gaya naturalistik itu konon dipengaruhi lukisan-lukisan pemandangan buatan Sukaraja (Jawa Tengah) dan lukisan gaya Jelekong (Jawa Barat) yang banyak beredar di Bali hingga ke pelosok desa. Penelitian para dosen STKIP (1992) menjelaskan bahwa gaya wayang sekaligus digabung dengan gaya naturalustik menjadi periode tersendiri dalam perkembangan seni lukis kaca ini.

Kemudian perubahan mengarah pada satu gaya wayang dengan latar dekoratif menandai perkembangan selanjutnya. Di luar itu, masih ada sejumlah nilai lain yang bisa diketengahkan misalnya pemakaian warna yang mirip gaya lukisan young artist dominan penggunaan warna dasar, garis kontur yang sangat kuat bahkan cenderung kaku dan tidak elastis karena pengaruh bahan kaca dan postur wayang pendek menandai lukisan wayang kaca Nagasepaha.

Pada karya I Ketut Suamba dengan judul "Bhagawadgita", persoalan teknik melukisnya dapat mengatasi bahan kaca untuk menghasilkan garis kontur yang tipis, elastis. Dia mampu menaklukkan sebuah tantangan yang tidak semua orang dapat melakukannya. Dengan demikian lukisannya menempati posisi tersendiri, khas seni lukis Bali Kuno dengan warna hitam-putih hanya tanpa aburan. Suatu yang menarik ingatan tentang penerapan disiplin yang ketat dalam tata krama seni lukis Bali sementara di lain pihak sejumlah lukisan dengan teknik melukis seadanya, penggunaan warna murni serta menunjukkan hanya satu postur wayang, justru nampak khas. Sebuah kesenian wayang yang berpijak dari kesederhanaan serta mengandung kesan religius.



Kebebasan Ekspresi

Ada hal lain lagi yang unik dalam komunitas para pelukis dari Desa Nagasepaha ini. Dalam sebuah lukisan ada tokoh wayang Delem membaur dalam lingkungan manusia terlibat nonton televisi. Sebuah narasi lintas teks di mana Delem yang hidup dalam dunia wayang bermigrasi ke dunia manusia. Lukisan itu berjudul "Terpelincir" (2007, 70x50 cm, cat minyak di kaca) karya I Ketut Sentosa. Unsur poster pada lukisannya nampak dari tulisan besar diletakkan di atas figur menegaskan tentang tema yang dimaksud mengarah ke tema sosial tergelincirnya pesawat Garuda tempo hari. Beberapa figur manusia dengan posisi samping, mirip posisi wayang kulit dan tokoh Delem (tokoh rakyat dalam dunia pewayangan) diketengahkan tengah menonton TV menyaksikan tayangan berita pesawat Garuda yang terpelincir.

Bagaimana kita membaca pesan dari lukisan ini? Sebuah tema yang lain yang menjelaskan sebuah totalitas pendobrakan atas pakem yang sudah ada. Mitos berkesenian dilabrak. Sebuah karya yang lain, juga dibuat oleh Sentosa, seperti mengajak kita pada kesadaran multikultur yang dibangun dengan hadirnya perempuan berjilbab di tengah kerumunan orang menawar kain dan lagi-lagi tokoh Delem nongol di situ.

Delem menjadi suatu yang fokus agaknya jika hadir di mana-mana. Tokoh pejabat bawah di struktur pemerintahan dunia pewayangan ini identik dengan si mulut besar yang menurut istilah lokal disebut "i bungut gebuh" yang NATO (no actions talk only). Sebuah gaya identifikasi yang khas dan menawan untuk masa sekarang. Sebuah interpretasi zaman di mana Pilkada membara dan orang jualan kecap di mana-mana sebagai barang asongan. Dan Delem adalah hamba kebudayaan di situ.

Sudah 75 tahun lebih sang tokoh yakni Jero Dalang Diah melakoni kehidupan berkutat dengan seni lukis kaca hingga kini masih dikerjakan di Nagasepaha. Beberapa periode proses pencarian hingga memunculkan perubahan-perubahan yang memberikan ruang bebas ekspresi. Seorang pelukis boleh saja menuangkan bentuk wayang dengan latar naturalistik, dekoratif atau datar satu warna atau mirip tenda Drama Gong di tahun 1970-an. Atau, tidak ada yang sakral. Beda seperti misalnya melihat perkembangan seni lukis Kamasan yang tidak mau keluar dari pakem tema maupun bentuk.

Akhirnya kita berharap, akan ada orang peduli untuk mengkondisikan kebebasan kreasi ini untuk berkembang terus. Desa Nagasepaha terlalu jauh untuk jangkauan para turis yang sekadar ingin buah tangan untuk dibawa pulang ke negerinya, namun harapan kita lebih jauh dari hubungan semacam itu.

* i nyoman wirata

Tidak ada komentar: