13 Februari 2008

Bondres Lukisan Kaca Nagasepaha

Secara nasional lukisan kaca dari Bali tidak dikenal. Kalau orang-orang Jakarta mau mencari lukisan kaca maka ia pergi ke Muntilan di Jawa Tengah atau ke Kuningan dan Cirebon di Jawa Barat. Di masa lalu daerah-daerah ini dikenal sebagai sentra lukisan kaca dengan corak yang berbeda. Di Jawa Tengah dengan tema-tema wayang, di Jawa Barat dengan tema religius Islami, misalnya, berbagai kaligrafi dan burung bouraq. Namun saat ini semuanya seperti membaur karena generasi penerusnya sudah bebas untuk berkreasi.

Orang tidak tahu kalau di Bali ada pelukis yang khusus melukis di atas kaca. Saya pun baru tahu hal itu ketika menonton pameran lukisan di Pekan Kesenian Bali tempo hari yang memajang lukisan-lukisan kaca. Padahal saya penggemar berat lukisan kaca khususnya yang bertema kerakyatan. Saya punya koleksi beberapa lukisan kaca khas Muntilan dan khas Cirebonan (begitu untuk menyebut produk dari Cirebon ini).

Desa Nagasepaha? Terus-terang saja, saya tidak tahu di mana desa itu, padahal saya seringkali berkeliling di Buleleng. Ini menunjukkan bahwa saya sama sekali buta dengan perkembangan lukisan kaca di Bali. Setahu saya, media massa termasuk media terbitan Bali jarang menulis masalah ini. Entah di mana lukisan kaca itu pernah dipamerkan.

Kalau Nagasepaha terletak di pedalaman dan bukan dalam jalur utama Singaraja - Denpasar atau Singaraja - Amlapura, maka menjadi sebuah takdir bahwa pelukis-pelukis kaca memang berada di pelosok. Sentra pelukis kaca di Muntilan juga ada di pedalaman, bukan di jalur utama Yogya - Magelang, begitu pula domisili pelukis kaca di Cirebon, ada di pedalaman. Cuma bedanya, pemerintah kabupaten memberi petunjuk yang jelas bagaimana menuju ke sana. Lebih dari segala itu, pelukis-pelukis ini sering mengadakan pameran di Jakarta. Pameran itu kadangkala disponsori oleh pemerintah kabupaten dan bisa pula disponsori oleh tokoh-tokoh asal kabupaten itu yang kebetulan tinggal di Jakarta.

Informasi yang saya terima dari perkembangan di Nagasepaha adalah pelukis generasi baru ini mulai mendobrak tradisi. Jika dulu gambar-gambarnya terbatas pada tokoh-tokoh wayang yang formal, maka kini mulai keluar dari pakem. Misalnya ada Delem dan Sangut minum arak di kafe. Pendobrakan seperti ini sudah terjadi lama di Jawa, sesuatu yang dulu memang sangat tabu dilakukan.

Tahun 1990-an, saya pernah memesan lukisan kaca di keluarga Sastro Gambar di Muntilan. Saya ingin temanya Pandawa menonton televisi dan saya minta agar layar kaca televisi menampilkan penyanyi dangdut yang seronok. Anak Pak Sastro (satu keluarga ini melukis secara keroyokan) bersedia mengggambarkannya. Seminggu kemudian setelah saya ambil lukisan itu ternyata pada gambar layar televisi dibiarkan kosong tanpa cat apa pun. Jadi bening. Semula saya protes, kenapa tak ada gambar penyanyi dangdutnya? Menurut anak Pak Sastro, ayahnya melarang melukis hal-hal di luar pakem, bahkan gambar televisi itu saja dibuat setelah dibujuk-bujuk. Jadi masih lumayan ada gambar televisi dan Pak Sastro meminta agar pada kaca yang bening itu ditempeli saja foto penyanyi.

Sekarang, tradisi itu sudah didobrak dan pakem sudah liar, alias tak ada lagi. Gatotkaca bisa menendang bola dan penjaga gawangnya Petruk dengan kaos Ronaldo. Gareng dan Bagong terpingkal-pingkal, sedangkan Semar duduk tenang di tribune. Meski pakem sudah bebas, tetapi ada yang dipertahankan di Muntilan, mereka masih melukis tokoh-tokoh wayang. Dan tentu yang paling sering diekspos adalah empat punakawan itu, Semar, Gareng, Bagong dan Petruk.

Di Kuningan dan Cirebon selain corak kaligrafi sudah menunjukkan modernisasi, lukisan kelas rakyat juga sudah beralih ke cerita-cerita rakyat seperti Jaka Tarub dan kisah-kisah prajurit keraton di pedesaan. Tentu saja tema tradisi yang digarap dengan serius masih menjadi primadona dan harganya melambung puluhan juta.

Pasar lukisan kaca ini sesungguhnya sangat besar. Karena peminat lukisan kaca beragam dari kelas menengah bawah sampai menengah atas. Ada lukisan kaca yang masih bisa dibeli dengan harga sekitar Rp 200 ribu dengan tema kerakyatan yang lucu dan lugu. Tetapi ada yang sudah berharga di atas Rp 100 juta.

Nah, seperti apa perkembangan pelukis kaca di Nagasepaha? Sepanjang yang saya lihat di pameran Pekan Kesenian Bali yang lalu, coraknya masih bisa disebut tradisional dengan teknik yang sesungguhnya belum prima betul. Detail lukisan kurang hidup dan goresan seperti ragu-ragu. Melukis kaca perlu keterampilan yang khusus karena teknik melukisnya terbalik dibandingkan melukis di atas kanvas. Melukis di kaca, detail yang pertama dibuat barulah latar, sedangkan melukis di kanvas, latar dibuat dulu baru dilukis detailnya.

Tentu saja pameran di Pesta Kesenian Bali tak bisa menjadi ukuran sejauh mana wajah sejatinya lukisan kaca di Nagasepaha. Apalagi kalau sampai terjadi pemberontakan tema. Bahkan kalau boleh diusulkan, tema itu jangan hanya sebatas tokoh wayang, betapa pun sudah mulai mengkritisi masa kini. Cobalah beralih ke cerita-cerita rakyat karena Bali banyak sekali punya cerita rakyat. Bahkan cerita rakyat khas Buleleng seperti Jayaprana-Layonsari bisa melahirkan ratusan lukisan. Misalnya, keadaan Istana Kalianget, perjalanan Jayaprana ke Teluk Terima, Layonsari yang bunuh diri, dan sebagainya. Ini pasti menarik kalau dilukis dengan media kaca.

Masalahnya, sejauh mana Pemerintah Kabupaten Buleleng mau mengayomi para pelukis kaca itu, seperti komunitas sejenis di tanah Jawa? * Putu Setia

Tidak ada komentar: