18 Februari 2008

Maestro Bisnis Kaca Patri

Sejak Brian Yaputra terpatri di berbagai bangunan di seluruh dunia, mulai dari Istana Bukit Kahyangan, kediaman Sultan Brunei Darussalam sampai Masjid Cafe Town, Afrika. Inilah jejak perjalanan bisnisnya.

Anda pernah melancong ke Disneyland Hong Kong? Masih ingat detail arsitektur fantasyland di sana? Kaca warna-warni dengan berbagai dekoratif cantik membuat atmosfer wahana rekreasi itu tampak makin indah. Mau tahu siapa pembuat kaca-kaca patri yang memesona mata itu? Perkenalkan: Brian Yaputra, kelahiran Semarang, 58 tahun lalu.

Di dunia properti, terutama para arsitek dan kontraktor, Brian bukanlah sosok asing. Bahkan, ia ditahbiskan sebagai maestro kaca patri. Bukan semata karena ia yang merintis dan memopulerkan bisnis kaca patri di Indonesia. Produk-produk kaca patrinya menghiasi berbagai bangunan, mulai dari gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah tinggal, sampai tempat ibadah, seperti masjid dan gereja. Sekadar menyebut contoh: Pasaraya, Bank Tabungan Negara, Rumah Sakit Dharmais, Gedung BPPT, Kedubes Rusia, Museum Purna Bhakti Pertiwi (TMII), Johar Shopping Centre Semarang, Bali Hilton Octopusy Discotheque, Masjid Bank Indonesia, dan Gereja Kristen Indonesia Jatinegara.

Brian juga menangani proyek kaca partisi untuk Apartemen Da Vinci, Belleza, Palazzo, Plaza Crystal, Kimia Farma, Indosat, Medco, Batavia Tower, Bank Indonesia, Taman Sahid Bogor, BNI 1946, Gedung Aryo (Indofood), Pasar Glodok, Hotel Patra Jasa, Novotel, Hilton Executive Club, Hotel Classic, Hotel Ibis Slipi, Omni Batavia, Holiday Inn Crowne Plaza, Cilantro BNI City, serta seluruh gerai baik Holland Bakery maupun McDonald's. Produk kaca patri Brian banyak pula memperindah bangunan-bangunan di berbagai belahan dunia. Semisal: Masjid Zirjah (Dubai) dan Hotel The Shanghai Equatorial (Cina).

Deretan kliennya akan makin panjang kalau ditambahkan rumah-rumah pejabat dan orang terkenal yang minta dibuatkan desain khusus kaca patri untuk mempermegah kediaman mereka. Malaysia dan Singapura bahkan sudah lama menjadi pelanggan regulernya.

Bisnis kaca patri memang identik dengan Brian. Kaca patri ini umumnya digunakan sebagai partisi, kaca jendela, pintu, juga ornamen lainnya. Pada zaman Belanda, penggunaan kaca patri sangat digemari. Ini terlihat dari bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda, semisal di Museum Fatahillah, Gedung Arsip, Stasiun Kota, Gereja Kathedral. Sepeninggal Belanda, pamor kaca patri pun mulai meredup. Brian inilah yang mengangkat kembali kaca patri di tahun 1981 lewat Eztu Glass Art (EGA)

Meskipun usianya sudah tua, yakni mulai dipopulerkan sebagai ornamen arsitektur pada pertengahan abad ke-12 di zaman Gotik, Brian menuturkan bahwa seni kaca patri tetap tak bisa dipisahkan dari arsitektur bangunan modern dewasa ini. “Sesuatu yang indah akan selalu abadi,” ucapnya bersemangat.

Brian dan kaca patri tak bisa dipisahkan. Kaca patri bagi penikmat seni ini bukan saja ladang bisnis, melainkan juga wahana untuk mengekspresikan totalitas jiwa seninya. Lihat saja kediamannya di bilangan Tomang, Jakarta Barat. Di balik pintu gerbang kayu di Jl. Kamboja Ujung Blok I/2, rumah berlantai dua berdesain modern dengan jendela-jendela kaca tinggi khas rumah tropis, mengungkap jati diri si pemilik. Melangkah lebih ke dalam semakin memperlihatkan si empunya rumah adalah pecinta keindahan.

Decak kagum akan makin menyeruak begitu memasuki bangunan lain yang dipisahkan oleh hamparan rumput lapangan golf mini. Gemercik air di kolam ikan dengan tepian batu alam menambah asri suasana. Pohon kamboja di samping teras rumah bagian dalam menonjolkan nuansa Bali dalam gaya rumah modern. Jendela-jendela kaca tinggi dengan garis-garis dan kotak-kotak kecil kaca warna di tepian kaca jendela tampak seperti menyatukan dua rumah terpisah di atas lahan sekitar 1.500 meter persegi itu. Gazebo di pojokan dengan atap kubah kaca mozaik warna-warni serta serangga eksotis yang dirangkai dengan teknik patri menambah indah hunian itu. “Tiap awal musim semi di Eropa adalah masanya permintaan kupu-kupu dan capung kaca buatan kami,” tutur Brian menyambut hangat kedatangan Abraham Susanto dari SWA.

Kecintaan Brian terhadap seni kaca patri melambungkan pemilik EGA ini di panggung bisnis. Di ranah bisnis ini, pamor EGA sangat mencorong. Selain produknya banyak diminati pasar, kualitas dan desainnya juga mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri. Tak heran, karya EGA merambah ke berbagai negara. Hampir di semua negara, produk EGA bisa dijumpai, baik yang dipakai di bangunan masjid, gereja, hotel, maupun bangunan lainnya.

“Kemampuan Eztu Glass sejajar dengan yang ada di Eropa,” tutur Gabriela Tomac, arsitek berkebangsaan Bosnia. Ia mengaku baru percaya kehebatan EGA setelah ia menyaksikan langsung kediaman Brian dan melihat pabriknya di Cikupa, Tangerang. Menurutnya, di Bosnia belum ada industri kaca patri seperti kepunyaan Brian. “Mungkin nanti ada sesuatu yang bisa kami pelajari,” ungkap Gabriela yang suaminya bekerja di Kedubes Bosnia Herzegovina di Indonesia.

Gabriela mengaku mengenal EGA dan Brian dari komunitas kedutaan tempat suaminya bekerja. Ia juga browsing di Internet dan berkirim e-mail dengan Brian. Ketika bertandang ke Jakarta, ia merasa harus ketemu dengan Brian. “Beautiful. Your home very beautiful,” komentar Gabriela ketika diajak berkeliling rumah Brian. Ia terpana melihat desain patri yang terpampang di rumah Brian. Mulai kubah panjang tembus cahaya dengan motif lengkung-lengkung bunga di atap ruang makan; hingga motif burung merak di atas tangga menuju lantai dua. Sinar matahari yang menembus warna-warni kaca membuat motif binatang dan bunga serasa hidup.

Kualitas dan standar tinggi bagi Brian adalah harga mati. Inilah barangkali yang membuat produk EGA banyak diminati pasar. Terlebih, bahan baku kaca yang dipilih EGA juga tidak sembarangan. Semuanya bahan impor dari Amerika Serikat, Jerman, Belgia, dan beberapa negara di Asia. 100% produk EGA adalah made by order meski soal desain bisa saja datang dari pemesan. “Panel kaca patri mahal karena material kacanya dan workmanship. Ini sangat padat karya walau kadang kami juga harus menyesuaikan dengan bujet pembeli,” tutur penggemar golf ini.

Menurut Brian, penempatan kaca patri harus cermat. Tidak bisa ditempatkan sembarangan. Perlu menyesuaikan dengan gaya desain rumah dan lanskap sekelilingnya. “Kami mesti melihat keindahan penempatannya, itu prinsip kami,” imbuhnya. Keistimewaan EGA boleh jadi karena Brian tak semata menjual kaca patri, tapi juga menawarkan sebuah produk dengan keserasian dalam desain, warna dan lokasi. “Kami ahli karena kami tahu keserasian dalam desain, warna, dan lokasi penempatan,” ujarnya setengah berpromosi.

Diakui Brian, banyak orang yang menjulukinya perfeksionis. “Saya itu tipe orang kalau lihat tidak bagus tidak legowo,” ia menegaskan seraya menceritakan bahwa sewaktu mengerjakan proyek Disneyland Hong Kong selama 6 bulan pengerjaan, empat kali pemesan dari Hong Kong datang langsung ke pabrik. Bahkan Brian sendiri sampai perlu tiga hari memotret panel-panel kaca patri di Disneyland Tokyo. “Mereka anggap ini investasi buat Hong Kong, Saya tidak mau sembarangan,” ucap Presdir PT Estu Adimore ini.

Reputasi. Itulah yang dijaga betul oleh Brian. Menurutnya, EGA tidak cuma sebagai penerima order yang pasif tapi juga harus memberikan masukan soal bahan dan desain. Reputasi inilah yang juga mengantarkannya memperoleh kepercayaan dari Disneyland Hong Kong. Sebelumnya, ia sudah mengerjakan proyek pengadaan kaca patri untuk 7 gereja di Hong Kong.

Brian mengakui, ia sejatinya tak mempunyai strategi khusus dalam memasarkan produknya. “Yang penting, jangan pernah menipu pelanggan,” tandasnya. Menurutnya, untuk menghemat biaya, pengusaha kerap melakukan efisiensi pada bahan baku. “Jangan ingin menghemat cost lalu menggunakan rangka yang tipis dan kaca yang murah. Itu yang sering terjadi. Pemesan tidak senang hati dan kecewa lalu membatalkan pesanannya, kami mau bilang apa,” sergah anggota Rotary Club Jakarta, yang pernah menjabat Presiden Club 1988-1989 itu.

Karena itu bagi Brian tak ada kompromi untuk kualitas. Untuk menjaga mutu produk, ia juga selalu menekankan kepada desainernya untuk tidak menjiplak karya orang lain. “Desainer kami harus selalu kreatif dan inovatif,” tambah Brian yang dikenal sebagai pribadi yang menyenangkan dan enak diajak mengobrol.

Brian terbilang pula pengusaha yang luas pergaulannya. Ia menjalin hubungan dengan para konsulat asing di Indonesia. Di sela wawancara dengan SWA, ia beberapa kali harus menerima telepon, salah satunya tentang janji main golf dengan Kedubes Cina.

Pergulatan Brian dengan seni kaca patri dimulai sepulang ia melancong dari Turki. “Saya kesengsem melihat keindahan seni kaca. Saya hobi foto, sampai habis beberapa puluh rol,” kenangnya. Begitu antusiasnya sehingga sesampainya Tanah Air ia sempat menjadi kolektor panel kaca buatan 1913-1923 yang ia beli dari rumah-rumah tua, di antaranya dari Kudus dan Malang. Di awal tahun 1981 Brian diajak pergi ke AS oleh seorang kawannya dan diajak pula menyambangi studio. Di sana ia melihat ada 6-8 orang bekerja membuat kaca patri. “Saya lihat kok kelihatannya gampang,” kata Brian. Lantas tanpa ragu ia pun membeli beberapa material kaca, rangka dan timah dari sana. “Dasar tidak mengerti apa-apa, seperti kita beli kain untuk bikin pakaian, sudah beli nggak ada kancingnya, wah amburadul,” paparnya sambil tertawa.

Karena sudah telanjur jatuh cinta, Brian terus mempelajari seni kaca patri ini dari majalah dan buku. Ketika datang brosur dari Karolina Utara, AS, mengenai pelatihan membuat kaca patri dari tempatnya dulu ia membeli material kaca, tanpa ragu ia mengutus Freddy Sudjadi untuk mempelajari bisnis ini. Selama tiga bulan Freddy yang kini Direktur EGA belajar seni patri dan bisnisnya. “Saya tidak mengira ini jadi bisnis,” kata Brian yang awalnya menggeluti bisnis keluarga sebagai produsen alat listrik dan rumah tangga, seperti kipas angin, setrika, dan penanak nasi (rice cooker) merek Orbit.

Dengan bekal pengetahuan itulah ia pun membangun EGA. Brian mengakui, kreasi pertama produknya jauh dari sempurna. Toh, itu tak membuatnya patah arang. Baginya, setiap orang pasti akan menemui kendala atau bahkan kegagalan. Prinsipnya sendiri, “Kalau kita mau lari pasti harus jatuh dulu,” katanya. Teman-teman dan kenalannya adalah pelanggan pertama kaca patri produksi bengkel kerja di garasi rumahnya di bilangan Palmerah. Pada awalnya kerap kali Brian juga turun langsung mematri sendiri produk kaca patri dibantu dua orang, yang waktu itu belum bisa disebut sebagai karyawan, termasuk Freddy. Bahkan pernah sampai tangannya terbakar terkena besi panas solder patri. “Saya senang utak-atik, ini semua berangkat dari hobi,” ucapnya dengan logat Jawa yang masih terasa walau sudah menetap puluhan tahun di Jakarta.

Meski sudah ada ahli yang belajar dari AS, masih saja Brian merasa ketakutan kalau ada order. “Saya tidak bisa sembarangan, orang bilang saya perfeksionis, jadi maunya bagus,” ujar Brian seraya menjelaskan bahwa menjalani bisnis ini tak ubahnya mengelola hobi. Terkadang ia sendiri yang corat-coret desain awal. Dalam melahirkan setiap karya ia mengaku inspirasi tidak selalu datang begitu saja. Kadang ia bisa menunggu sampai berbulan-bulan, tapi begitu sudah datang akan mengalir deras. “Ini karunia Tuhan, saya dikasih jiwa, bukan jiwa seni, tapi yang menyenangi seni,” ucap Brian yang kini mempekerjakan 350 karyawan di pabriknya di Cikupa.

Boom properti di tahun 1980-an, menurut Brian, merupakan salah satu faktor yang melambungkan bisnis kaca patri. EGA pun lantas memperkenalkan sistem triplon glass atau unit triple glazed, yang merupakan pelapisan panel kaca patri atau panel bevel dengan kaca tempered. Triplon glass ini selain bermanfaat menghemat energi, juga bisa berfungsi sebagai peredam suara bising. Perawatannya pun amat mudah, seperti merawat kaca polos biasa. Teknologi kaca patri terus berkembang, EGA juga memperkenalkan seni pelumeran kaca dari Italia yang lebih dikenal dengan melton glass (pelumeran kaca float) dan moons glass (pelumeran art glass warna-warni).

Puncaknya tahun 1988 ketika Brian memperoleh order dari Jepang. Ketika itu ada mahasiswa program beasiswa Indonesia ke Jepang yang diminta mencari kerajinan tangan di sini untuk diperkenalkan ke Jepang. Kaca patri Brian inilah yang direkomendasi sehingga kemudian ia pun mempunyai relasi Jepang, bernama Nishigaki. “Waktu itu saya satu-satunya di Jakarta yang membuat kaca patri, mereka tertarik banget,” kenangnya.

Untuk pasar Jepang, produksi EGA kebanyakan untuk kaca furnitur, seperti lemari dan tempat sepatu. Sekali pengiriman 20 peti senilai sekitar US$ 20 ribu. Ketika itu sudah pula populer di kalangan konsultan arsitek bukan cuma di dalam negeri, tapi juga di Singapura, sehingga ia sering menerima pesanan untuk pembangunan rumah penggede di sana. Salah satunya adalah kediaman Sultan Brunei Darussalam, Istana Bukit Khayangan.

Tahun 1990-an EGA mendapat pesanan untuk pembangunan gereja di Hong Kong. Secara kebetulan dalam perjalanan pesawat ke Eropa dari Singapura, Brian duduk bersebelahan dengan Ketua Asosiasi Arsitektur Hong Kong, Tao Ho. Sewaktu pulang ia mendapat telepon dan diminta membuat kaca patri untuk gereja di Hong Kong. “Karena ini untuk gereja, Tao Ho meminta jangan terlalu komersial, saya bilang nggak masalah,” Brian menceritakan.

Brian rupanya mengerti betul bagaimana membangun relasi. Tak heran, datang berulang pesanan dari Hong Kong termasuk dari Disneyland di tahun 2004. “Wah itu luar biasa. Saya kejatuhan rezeki gede karena begitu banyak orang yang minta proyek itu, kok malah saya yang diundang,” tutur Brian. Ya, Brian pastilah sumringah bukan kepalang. Nilai kontrak kaca patri di Disneyland Hong Kong itu mencapai US$ 200 ribu.

Apa strateginya? Brian mengaku tidak punya resep khusus. “Saya tidak tahu, berjalan begitu saja,” katanya. Menurutnya, keberhasilannya berangkali sudah menjadi suratan Tuhan. “Prinsip saya, kerjakan apa yang mesti saya kerjakan, begitu saja,” sambungnya kalem. Brian sendiri mempunyai filosofi pohon pisang, yang selalu melakukan regenerasi. Tak heran, anaknya pun meneruskan bisnisnya.

Selain ke Jepang, tiap bulan ia juga ekspor ke Belanda dan Belgia. Selain panel kaca patri untuk jendela juga untuk bilah pintu lengkap dengan daun pintu. Meski pasarnya menjangkau mancanegara, ia tidak perlu sampai membuka kantor pemasaran di sana. Sejauh ini, pemesan yang kebanyakan pengembang yang datang ke ruang pamer EGA di Jl. Biak dan Jl. S. Parman, Jakarta.

Salah satu keberhasilan EGA tampaknya dari kelihaian Brian menjalin relasi. Ia tak segan menerima siapa saja berkunjung ke bengkel atau pabriknya. “Saya ingin mengajak semakin banyak orang yang mencintai seni ini,” Brian bertutur. Tak heran, pabrik miliknya seluas 2 ribu m2 di Cikupa itu terbuka untuk tempat magang mahasiswa, terutama studi seni rupa dan desain. Karena termasuk perintis industri kaca patri, banyak pula karyawannya yang sudah ahli membuka usaha sendiri atau direkrut orang lain. “Biarlah, wong rezeki dari Gusti Allah,” imbuhnya.

Lebih jauh Brian menjelaskan, untuk segmen kelas atas biasanya mereka tidak mau ambil risiko, cari yang berpengalaman. “Biarlah masing-masing berkembang akhirnya juga semakin terorganisasi dan punya kelasnya masing-masing. Seperti sekarang ini kaca patri juga dikerjakan di bengkel pinggir jalan,” ia menerangkan.

Awalnya EGA tidak mengkhususkan diri membidik segmen atas. “Terbawa begitu saja. Mungkin karena saya punya keinginan hanya mau mengerjakan sesuatu yang terbaik,” ujar Brian. Herannya, ia pun tidak sembarangan menerima pesanan. “Saya tidak mau disuruh bikin kalau penempatannya tidak layak,” sambung Brian yang mengoleksi pula hiasan etnik, mulai dari gong, patung, uang logam tua, keramik tua, sampai keris. (swa)

1 komentar:

aldy mension mengatakan...

saya salut dgn bapak brian?kalau boleh sayah mendapatkan no hp/email bapak,untuk mau berbagi dgn saya.salom/wassallam.