18 Februari 2008

Meraih Sukses dari Usaha Seni Kaca Timah

JAKARTA – Suatu hari di siang bolong salah seorang direktur PT Freeport Indonesia berkunjung ke sebuah rumah yang berada di gang kecil di bilangan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Sang pejabat dari perusahaan penambangan emas milik perusahaan asing ini seakan tak percaya melihat rumah kecil tak berhalaman itu bisa menghasilkan karya kaca timah (stained glass).
Satu-satunya yang meyakinkan dirinya bahwa rumah yang dia cari benar adalah sebuah rumah yang jendelanya terbuat dari kaca timah. Direktur itu bingung dan heran melihat rumah kecil ini.
Ketika ketemua pemilik rumah dia langsung berkomentar ”Kok rumahnya kecil sekali,” tutur Setia Boedhi Utama, si pemilik rumah, sambil tertawa menirukan kata-kata Direktur tersebut.
Ternyata Sang Direktur itu bermaksud mengantarkan sebuah buku mengenai kaca timah terbitan luar negeri sebagai hadiah kepada Setia Boedhi Utama atas karya kaca timahnya yang kini menyatu dengan salah satu gedung PT Freeport.
Direktur itu, menurut pengakuan pria berusia 52 tahun ini tertarik dengan karya yang dibuatnya di samping jumlah orang yang terjun di bidang ini tergolong sulit dicari.
Rumah itu sesungguhnya adalah studio yang digunakan untuk mengerjakan pesanan kaca timah maupun produk lain seperti cermin hias, lampu hias, kaca lukis, kaca tiga dimensi. Itu adalah rumah pertama miliknya sebelum memiliki rumah lain yang sedikit lebih luas.
Selain itu, Boedhi juga menggelar karyanya di Pasar Seni Ancol. Dipilihnya tempat itu karena menganggap Ancol merupakan tempat yang paling pas untuk sebuah karya seni di samping harga sewa yang tidak terlalu mahal.
Akan tetapi, Boedhi, tidak menganggap pekerjaanya sebagai lahan bisnis. ”Ini adalah kerja seni. Seorang yang menekuni seni kaca timah harus memiliki jiwa yang bisa menyatu dengan pekerjaan dan tidak memandang sebagai peluang bisnis,” tegas Boedhi.
Dia menekankan pada saat orang menganggap seni kaca timah sebagai ladang bisnis maka karya ini akan rusak kualitasnya, akan merosot. Itu pulah yang kini banyak terjadi. Banyak yang meniru dan lantas menghasilkan karya tak berkualitas.
Kerja seni yang ditekuni sejak 1983 ini bahan baku utamanya adalah kaca dan timah. Karya ini memang lebih kental dengan nilai seni karena karyanya merupakan potongan kaca putih atau berwarna yang kemudian membentuk satu motif atau gambar yang telah dibuat sebelumnya.
Produknya telah menghasilkan buah yang bisa dinikmatinya. Kini karyanya sudah banyak di antaranya kaca dan pintu rumah, gedung-gedung perkantoran, mesjid atau pun gereja yang tersebar di berbagai tempat. Karya spektakulernya-begitu dia menyebut karya terbesarnya —berada di mesjid PT Astra International, Sunter, Jakarta Utara.
Bahkan saat ini dia sedang mendapat penawaran untuk membuat kaca timah untuk jendela mesjid dan gereja di proyek LNG Tangguh, Papua. ”Mereka sudah menawarkan kepada saya tapi belum ada tindak lanjutnya,” katanya sambil menunjukkan design rumah ibadah yang akan didirikan oleh perusahaan LNG tersebut.
Sempat mencicipi kuliah di fakultas arsitektur sebuah universitas di Solo, pria bertubuh kurus ini sebelumnya masih bekerja sebagai arsitek pada perusahaan swasta. Dia mengaku mempelajari seni kaca timah secara otodidak. Semua buku-buku yang hampir seluruhnya adalah terbitan luar negeri dipelajari sambil bekerja. Tak tanggung-tanggung, Boedhi termasuk orang yang rajin berburu buku, termasuk memburu buku sampai ke Singapura. Agaknya latar belakangnya sebagai arsitek memudahkannya memahami materi yang sarat dengan gambar-gambar yang rumit bagi orang awam.
“Saya beli buku sampai ke Singapura karena di sini cukup sulit mencarinya. Supaya karya kita selalu berkembang harus pintar-pintar cari informasi. Sekarang juga saya selalu dikirimi buletin dari salah satu kelompok seni kaca timah dari Amerika Serikat,” katanya.

Satu Karyawan
Terjun sepenuhnya membuat kaca timah, dimulai dengan satu karyawan. Soal order, dia mendapatkan dari teman-temannya. Lama kelamaan nama Boedhi mulai dikenal, terlebih orang yang menekuni perkejaan bidang ini termasuk langka. Tercatat pelanggannya terutama dari orang-orang asing yang berada di Indonesia. Setelah merasa cukup mapan delapan tahun lalu (1994) dia membuka galeri di Pasar Seni Ancol. Kini, dia telah mempekerjakan 14 karyawan.
Mencari karyawan, diakuinya cukup sulit. Dia harus mencari orang yang bisa menyenangi pekerjaan ini. ”Modalnya dia bisa mencintai pekerjaan karena mengerjakan seni kaca timah butuh kesabaran dan kecermatan,” ujarnya.
Seni kaca timah, bila dilihat hanya sekadar memotong kaca berdasarkan gambar yang dibuat. Tapi, ini bukan pekerjaan mudah. Setelah gambar dibuat, biasanya berdasarkan pesanan, barulah kaca dipotong-potong sesuai motif. Di sini ada teknik memotong sehingga kaca tidak pecah. Setelah itu kaca dibentuk, kemudian di-bevelled bertujuan untuk membentuk kaca-kaca yang dipotong kemudian menghaluskan hingga mengilatkan. Barulah potongan-potongan kaca disusun sesuai motif dan dipatri dengan timah.
Laki-laki asli Solo ini mengungkapkan, persoalan bahan baku kaca adalah masalah utama yang dihadapi. Sebagian besar bahan bakunya masih impor karena itu harganya sangat mahal. Sebuah kaca berwarna ukuran satu meter persegi bisa mencapai Rp 750.000 itu pun masih tergantung warna. Jika warnanya kuning, harganya lebih mahal.
Sedangkan harga untuk karya yang dihasilkan, Boedhi tidak mematok harga tinggi minimal Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta sesuai ukuran apakah untuk jendela, pintu serta jenis kaca yang digunakan.
Boedhi juga mengembangkan karyanya hingga ke lampu hias,cermin atau kaca tiga dimensi. Dari pengembangan produk itulah, Boedhi memperoleh pendapatan yang paling besar rata-rata omset mencapai Rp 10 juta/bulan. Produk-roduk yang dikembangkan itulah ke depan hendak diandalkan sebagai sumber omset. Pasalnya dari kaca timah, nilai yang diperoleh tidak bisa ditentukan karena tergantung pesanan.
Khususnya lampu hias, mulai dikerjakan ketika peristiwa Mei 1997 terjadi. Ketika itu, tidak ada pesanan kaca timah. Bahkan galeri di Pasar Seni Ancol nyaris tidak ada pengunjungnya. ”Saat itu bagaimana orang mau membuat jendela atau pintu dari kaca sedangkan situasi sedang mencekam. Kemudian timbul ide membuat lampu hias,” ujarnya.
Akan tetapi, keadaan ini tidak berlangsung lama. Mulai 1999 order mulai berdatangan. Bahkan kini, Boedhi juga membuka kursus bagi orang yang berminat mempelajari seni kaca timah di studionya di Tanjung Duren.
”Yang berminat mengikuti kursus ini justru kebanyakan orang asing. Beberapa mahasiswa ITB maupun mahasiswa senirupa lain belajar di sini,” kata Boedhi. Biaya kursus ditetapkan Rp 2,5 juta hingga trampil tanpa batas waktu yang ditentukan.
Boedhi bercita-cita mengembangkan seni kaca timah di Indonesia. Belum ada universitas di dalam negeri yang melahirkan mata kuliah seni kaca timah seperti halnya di luar negeri.
”Suatu hari nanti ingin berdemo di sekolah, universitas, memperkenalkan seni kaca timah supaya semakin banyak yang mengetahui dan bisa semakin berkembang. Dari kaca timah ada banyak yang bisa dihasilkan semua tergantung ide dari pembuatnya,” katanya optimis. (SH/naomi siagian)

3 komentar:

zon mengatakan...

mohon info alamat lengkap
tempat kursus pak Boedhi di Tanjung Duren.

Niki Oz mengatakan...

Wah nengsemmake . . . kulo dadi pengin ajar ndamel, menawi wonten Solo dateng pundi Pak mundhute timah / bingkainipun ?
Kiloan punopo meteran ?
Maturnuwun.

Unknown mengatakan...

Tempat kursus di jkt dimana pak