10 Februari 2008

Melukis Botol

Lukisan itu menyuguhkan permainan irama mata.

Setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, Solikin (37 tahun) pun menemukan remah-remah rezekinya di antara botol-botol bekas. Beginilah yang ia lakoni sejak tujuh tahun silam. Dia menjadikan tubuh botol-botol bekas sebagai 'kanvas' untuk menyalurkan bakatnya melukis.

Likin --begitu ia akrab disapa-- adalah seorang pelukis botol, sebuah 'genre' melukis yang jarang dilakoni orang di negeri ini. Tapi, dari kegiatan unik inilah periuk nasinya terus bergoyang. ''Meski cuma cukup buat hidup pas-pasan,'' kata dia sembari nyengir saat ditemui di kediamannya, di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Selasa (30/10).

Pada siang yang mendung itu, Likin tampak sibuk memulas kuas lukisnya ke leher sebuah botol anggur (wine). Memang, jenis botol inilah yang menjadi media lukis favorit Likin. Alasannya, botol-botol seperti ini bentuknya unik. ''Tidak seperti botol kecap atau sirup yang minim sentuhan artistik,'' katanya. Selain botol anggur, Likin juga melukis di tubuh botol cengkeh (saos rokok) yang gendut hingga botol bekas lampu teplok. Namun, ia tak membuat karya di atas botol parfum.

Ada lusinan botol berserakan di ruang kerja berukuran 2x3 meter itu. Tak satu pun botol-botol ini berbentuk sama. Namun, botol-botol ini memiliki kesamaan dalam satu hal: Sekujur tubuh mereka dipenuhi corak-corak kembang, motif batik, atau ornamen dengan pelbagai warna-warni cat di atasnya. Seperti itulah lukisan botol buatan Likin.

Yang menjadi ciri khas karya-karya Likin adalah penggunaan cat khusus kaca, seperti Le France atau Deco, yang lazim dipakai dalam pewarnaan kaca patri (stained glass). Cat ini memiliki karakter unik, yakni dapat tembus cahaya. Namun, secara khusus, Likin hanya memanfaatkan cat jenis ini pada botol-botol yang bening saja. Untuk botol-botol berwarna gelap --kebanyakan berwarna hijau dan cokelat-- Likin menggunakan cat besi biasa.

Apa yang menarik dari lukisan pada botol-botol ini? ''Mereka menyuguhkan permainan irama mata,'' kata Likin. Ia lantas mengangkat sebuah botol bening dengan corak ornamen mirip kaca patri di sekujur tubuhnya. Pandangilah botol bening ini lama-lama, kata dia, ''Niscaya stres bisa hilang.''

Bahkan, lukisan botol ini bisa dinikmati di kegelapan malam. Berilah sedikit sinar pada botol-botol bening ini. Maka, permainan warna dan cahaya pun akan muncul berpendaran.

Aksi inovatif
Sedikit orang yang berkecimpung di seni melukis botol dengan media cat kaca. Di Boyolali, misalnya, Likin pernah menemui pelukis botol-botol besar. Tetapi, mereka memanfaatkan cat duko. Metode pengerjaannya pun seperti metode pengerjaan botol keramik, yakni dengan membaluri sekujur tubuh botol dengan cat. ''Lukisan saya tidak menghilangkan unsur botol aslinya,'' kata Likin.

Namun, Likin juga melakukan inovasi. Salah satunya, ia memanfaatkan kertas prada untuk membaluri sekujur tubuh botol. Kertas prada lazimnya digunakan dalam pembuatan wayang kulit, yakni untuk memberi warna emas pada karya seni itu. Pemanfaatan kertas prada, kata Likin,''Dilakukan supaya warna botol menjadi jreng.''

Untuk mendapatkan botol-botol unik itu, Likin rupanya tak perlu bekerja terlalu keras. Botol-botol ini ia peroleh dari pasar loak di Jakarta. Kebanyakan adalah botol-botol dari luar negeri yang sudah lawas, berusia 20 hingga 30 tahun, yang dicirikan oleh bentuk cekungan di dasarnya. Untuk itu, saban pekan, Likin rutin menyisir sentra-sentra barang loak di sekitar daerah Jembatan Lima, Muara Angke, atau Jembatan Item, Jatinegara. Sebanyak 10 hingga 15 botol ia bawa pulang saban bulannya dengan harga Rp 10 hingga 20 ribu per unit.

Berapa ia menjual botol-botol lukisannya? Sebagian besar produk Likin saat ini dititipkan pada sebuah gerai penjualan di Jl Surabaya, Jakarta Pusat. Likin termasuk seniman yang tak kemaruk. Satu lukisan botol, yang ia kerjakan rata-rata 1-2 hari ini, ia patok Rp 40 ribu, tanpa pandang bulu. Padahal,''Penjual bisa melepasnya hingga dua kali lipat, Rp 80 ribuan.'' Sementara untuk lukisan botol kecil, Likin memasang harga Rp 8.000.

Gayung pun bersambut. Permintaan akan lukisan botol-botol tak pernah surut. Sebab, ada kolektor yang secara khusus berburu botol-botol seperti ini. Saban bulannya rata-rata delapan botol berhasil dilego. Dus, paling sedikit Likin mengantongi Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per bulan dari penjualan lukisan botol, plus Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu dari penjualan lukisan kanvas atau gambar sketsa. ''Ya, beginilah seniman,'' kata pria bujang itu sembari terkekeh. Soal rezeki, Likin mengaku tak mau muluk-muluk. ''Semuanya dari Allah, pasrah aja.''

Bermula dari Pasar Ancol

Ketertarikan Likin pada seni melukis botol tumbuh ketika ia bekerja sebagai desainer pada toko kaca patri di Pasar Seni Ancol, Jakarta, pada tahun 1997-an. Pekerjaannya saat itu adalah merancang desain mal kaca patri untuk keperluan instalasi di gedung-gedung perkantoran, rumah mewah, atau kaligrafi masjid.

Tetapi, kemudian sang pemilik toko kaca meninggal dunia pada 2000. Perusahaannya bangkrut. Likin praktis tidak punya pekerjaan. Untungnya, beberapa tahun sebelumnya, Likin sudah mulai menekuni bidang melukis di botol kaca. Inilah kelak yang menjadi modalnya untuk bertahan hidup. Ada pun pengalaman bersentuhan dengan botol-botol kaca ini diperoleh Likin dari seorang teman bernama Budi, lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia.

Beberapa tahun silam Budi menggelar pameran lukisan di Ancol. Di gerainya, Budi memajang sejumlah botol berukuran kecil yang iseng-iseng ia cat badan botolnya. Likin melihat ini sebagai sesuatu yang menarik, terlebih coraknya seperti kaca patri. ''Gimana kalau saya melukis di botol-botol yang lebih besar,'' pikir ia saat itu.

Tekad terjun di dunia seni melukis botol kian berkibar beberapa saat kemudian. Itulah ketika ia bertemu dengan seorang pelukis kaca asal Cirebon di sela-sela Jambore Seni Rupa Nasional di Ancol. Pertemanan mereka berjalan dua tahun. Lewat pertemanan itu pula Likin mempelajari art material untuk seni lukis kaca, teknik-teknik seni lukis kaca, serta peralatan yang digunakan.

Tak lama ia semakin mantap berkecimpung di dunia ini, apalagi perusahaan tempatnya bekerja mulai limbung. Pertimbangan Likin lainnya adalah ia menduga seni melukis botol masihlah barang langka. ''Pelukis kanvas sudah ada, pelukis kaca juga sudah ada. Pelukis botol barangkali belum ada,'' pikir Likin lagi. Dan, inilah julukan Likin sekarang: Si pelukis botol.

Seorang Otodidak Sejati

Seperti kata-kata hikmah, bertemanlah dengan seorang pandai besi, maka tanganmu akan ikut menjadi legam. Sejak 1990-an, Likin memang hobi nongkrong di Dewan Kesenian Surabaya atau Balai Budaya Surabaya bersama dengan para seniman lukis, seniman tari, atau seniman musik.

Namun, ketertarikan Likin lebih pada seni lukis. Ia pun mengasah talentanya pada sebuah sanggar di dua sentra budaya kota Surabaya tadi secara cuma-cuma. ''Modalnya pertemanan. Selanjutnya, ya otodidak.''

Bermodalkan hobinya coret-coret ini, Likin yang lulusan SMA itu hijrah ke Jakarta pada 1992. Ia kemudian diterima bekerja sebagai desainer kloset pada sebuah pabrik kloset di Serpong, Tangerang.

Adalah pekerjaan di Pasar Seni Ancol yang membikinnya kembali bersinggungan dengan habitat para seniman seperti yang dilakoninya saat SMA dahulu di Surabaya. Serupa saat di Surabaya, Likin kembali menyerap praktik-praktik melukis --kembali menjadi otodidak-- terutama seni melukis kaca.

Dia cukup percaya diri untuk langsung menjajakan produk-produk lukisan botolnya ke pelbagai gerai-gerai di Ibu Kota. Salah satunya adalah toko-toko di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, lokasi tempat berkumpulnya aneka art shop dan galeri. Ke toko-toko seni ini, Likin menitip botol-botol lukisannya agar ditaruh di etalase. Ditolak? ''Itu sih sering,'' kata dia.

Menembus Kemang

* Sabar
Berbeda dengan melukis di atas kanvas, melukis di atas botol membutuhkan tingkat kesabaran lebih tinggi. Melukisnya harus pelan-pelan, sebab bidang garapannya kecil. Alat-alat yang digunakan pun rata-rata memiliki lubang dengan diameter mungil seperti kuas mini, pipet, dan canting (alat membatik) dengan garis tengah 0,2 cm-0,8 cm.
Tak jarang Likin juga menggunakan tusuk gigi sebagai alat bantu melukis. Untuk merampungkan satu lukisan botol, Likin bisa menghabiskan waktu rata-rata satu hingga dua hari, tergantung pada kerumitan desain dan jumlah warna.

* Mencetak murid sukses
Syahdan, dalam sebuah acara Jambore Seni Rupa Nasional, Likin berjumpa seorang peserta mahasiswa. Orang ini amat tertarik dengan seni melukis botol yang dikuasai Likin. Tak segan-segan, Likin pun mengajari orang ini melukis botol selama seminggu. ''Sampai dia bisa,'' tuturnya. ''Semua ilmu saya berikan. Gratis,'' katanya lagi. Nah, saat ini, sang mahasiswa tadi kabarnya sudah bisa membangun sebuah gerai seni di Bali bernama The Botol.

* Di atas sepeda onthel
Selain sebagai pelukis botol, Likin juga bergabung dengan komunitas sepeda onthel di Jakarta. Tak heran jika Likin menjajakan botol-botol lukisannya di atas sepeda lawas itu. Botol-botol tersebut ia masukkan kardus, lantas diboncengkan ke bagian belakang sepeda. Ia lantas ngider menawarkan ke berbagai toko seni, bahkan tempat-tempat yang terbilang elite.
Misalnya, Likin sempat berhasil menitipkan lebih dari selusin botol di gerai-gerai ternama di bilangan Kemang seperti Kem Chick, Chic Mart, atau gerai Martha Tilaar di Jl Wahid Hasyim. Produk-produknya juga sempat dijajakan di gerai seni milik artis Titi Qadarsih dalam sebuah pameran seni. Saat ini Likin sudah memiliki tempat penitipan yang lebih permanen yakni di Jl Surabaya, Jakpus, tempat dijualnya berbagai barang-barang antik.

* Botol-botol artistik
Ada lebih 20-an botol berserakan di ruang kerja Likin, siang itu. Nyaris seluruhnya adalah botol anggur, media favorit Likin saat melukis. Alasan Likin menyukai botol-botol itu, terutama yang bening, adalah teksturnya yang mirip dengan kaca patri. Bentuknya yang artistik juga menjadi pertimbangan penting.
Soal desain botol, setiap negara memiliki kekhasan sendiri. Botol dari Swedia, misalnya, kebanyakan didominasi bentukan bulat; Prancis ada garis-garis yang menjelujur di sekujur botol; Amerika cenderung lebih ramping; Italia memiliki perut botol besar dengan leher kecil; sementara Jepang menyerupai bentuk berlian.
(imy )

Tidak ada komentar: