13 Februari 2008

Tak Sekadar Berkaca pada Lukisan Kaca

DAHULU lukisan bermedium kaca selalu identik dengan wayang. Itu antara lain karena secara historis hampir di setiap kultur di mana lukisan ini tumbuh senantiasa diawali dengan menggambar wayang. Sebutlah misalnya daerah seperti Cirebon , Jawa Barat (Jabar), atau Nagasepaha, Buleleng, Bali . Sejak tahun 1927 ketika Jro Dalang Diah mengembangkan lukisan kaca di Nagasepaha , ia sudah menggambar wayang. Dan tradisi itu dilanjutkan sampai kini oleh anak-cucunya.

Lukisan kaca Cirebon yang diperkirakan lahir sekitar abad ke-15 juga bermula dari penggalan-penggalan kisah pewayangan yang lalu dimanfaatkan sebagai media peneguhan agama. Selain tentu terdapat lukisan di atas kaca bermotif kaligrafi dengan pesan yang sama.

Pada galibnya kemudian medium kaca dalam sejarah seni rupa di Indonesia hampir identik dengan gambar-gambar klasik dengan dunia wayang sebagai sumber inspirasinya. Tetapi cobalah menyimak pameran "Lukisan di Atas Kaca Tradisi dan Perkembangannya", 8-17 Juli 2004, di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), stereotipe pikiran tadi tidak sepenuhnya benar.

Para pelukis Cirebon dipelopori pelukis Toto Sunu (43) mengembangkan motif-motif naturalistik dengan pencapaian teknik yang pantas dicatat. Dalam pameran ini Toto menampilkan tiga lukisannya yang berjudul Ketika Manusia Berubah, Rumah Kumuh, dan Ikan Koi. Kemudian yang terasa fantastik, selain karya ini rata-rata berukuran besar 245 x 141 cm, Toto Sunu memamerkan teknik tiga dimensi dengan kaca. Ia memang belum sampai pada tingkatan menjadikan kaca sebagai ilusi optik, sebagaimana banyak dimanfaatkan dalam sulap, tetapi pada lukisan Ikan Koi misalnya, kita seolah-olah sedang benar-benar berhadapan dengan sebuah kolam dengan teratai dan ikan-ikan yang cantik.

Teknik yang "ditemukan" Toto Sunu sangat sederhana. Ia hanya perlu melukis pada tiga bidang kaca yang kemudian disusun secara depan-belakang. Maka yang tampak kemudian kaca terdepan sebagai bidang permukaan, kaca tengah untuk memberi dimensi kedalaman, dan kaca ketiga memberi latar belakang. "Karena sifat kaca yang tembus pandang, maka ketika kita memandang lurus saja seperti sudah mendapatkan dimensi yang lain," kata Toto Sunu.

Eksplorasi Toto Sunu sejak awal tahun 90-an silam tak berhenti di situ. Ia kemudian menemukan teknik memakai airbrush atau menggunakan cat thiner pada permukaan kaca. Sebelumnya para pelukis kaca di Cirebon , termasuk pengembangannya oleh Rastika, seolah tak bisa beranjak dari cat Kuda Terbang, ini sejenis cat untuk besi. Bahkan, secara agak demonstratif saat memeragakan melukis di atas kaca, Kamis (8/7) malam di BBJ, Toto Sunu menyulut semprotan cat piloks dengan korek api. Api tiba-tiba seperti disemprotkan dari dalam kaleng untuk kemudian membakar bidang kaca. "Ini kan hanya untuk pertunjukan saja, walau sebenarnya api itu bermanfaat untuk mengeringkan cat," kata Toto Sunu.

APA yang dilakukan Toto Sunu memang kemudian seperti menjadi patron golongan pelukis muda Cirebon . Mereka tidak hanya mengikuti berbagai teknik yang ditemukan Toto Sunu, tetapi juga banyak yang kemudian mencoba meneladani sikap kepelukisannya. Sikap ini amat penting karena berpengaruh sangat kuat terhadap cara pandang seniman terhadap karyanya sendiri. Dalam istilah Toto Sunu, banyak seniman Cirebon yang masih memandang karyanya sebagai kerajinan belaka.

"Jadi karya bukan sebagai ekspresi pribadi, tetapi masih ada saja yang masih melukis dengan cara meniru bentuk-bentuk lukisan yang sudah ada," kata Toto Sunu.

Sikap semacam inilah yang tampaknya masih kental pula melanda para pelukis Nagasepaha. Mereka terbiasa menjadikan karya orang sebagai mal untuk kemudian ditiru persis sebagaimana adanya. Lantaran itu eksplorasi secara teknik dan tematik seperti tak berjalan. Pelukis seperti I Ketut Santosa, tak lain dari keponakan Jro Dalang Diah, memang mencoba memasukkan peristiwa kontemporer ke dalam karyanya. Sebutlah lukisan berjudul Cewek Cafe misalnya, kehidupan yang dikisahkan Santosa merupakan kisah-kisah masa kini, namun tetap mengguratkan figur-figur wayang. Karya serupa ia ulangi lagi pada lukisan berjudul Pemilu, di mana manusia-manusia berpadu dengan manusia wayang.

I Ketut Samudra mungkin sedikit lebih maju. Dalam lukisan berjudul Ramayana, ia melukiskan potret seorang gadis Bali pada permukaan bidang kacanya, kemudian di belakang digambarkan tokoh Rama dan Laksamana sedang mengejar kijang emas. Kendati Samudra lebih realistik, toh ia tetap setengah hati melepaskan diri dari tema dan figur wayang. Tokoh Rama dan Laksamana tetap saja digambarkan sebagaimana kita saksikan dalam pewayangan yang dua dimensi.

Begitu pun pelukis senior seperti Maryono asal Magelang, hanya melakukan eksplorasi secara tematik. Ia tetap menggarap figur punakawan dalam pewayangan seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.

Dalam kondisi seperti itu tak salah jika disebut Toto Sunu telah melakukan pembaruan secara teknik dan tematik terhadap lukisan-lukisan di atas kaca. Sesungguhnya ia tidak saja seorang perupa yang bisa begitu cepat bekerja di atas bidang kaca, Toto Sunu sebenarnya seorang pendesain yang piawai. Ia pernah membuat semacam maket kilang minyak Balongan di Indramayu dengan bahan-bahan bekas. Maket itu pun banyak diminati para kolektor.

Menurut dia, media kaca tetap terbuka terhadap berbagai eksplorasi teknik. "Cuma sekarang saya belum lagi menemukan yang baru. Tapi suatu kali pasti dan itu waktunya tidak bisa diduga," tutur dia.

Sekarang kalau kita berdiri di hadapan lukisan Toto Sunu, kita tidak sekadar menghadapi bayang sendiri yang dipantulkan permukaan kaca. Namun, lukisan itu seakan merangkul seluruh tubuh kita untuk kemudian menjadi bagian di dalamnya. (CAN)

Tidak ada komentar: