13 Februari 2008

Lukisan Kaca Mulai Digemari

SENIMAN akademis yang menggeluti seni tradisi lukis kaca masih terbilang langka. Selama ini tampaknya hanya Haryadi Suadi yang terus menerus menggeluti medium tersebut di antara sekian banyak seniman akademis di Bandung.

Selebihnya beberapa seniman lokal berkiprah di daerahnya masing-masing, seperti Rastika, Rd. Sugro Hudayat dan Toto Sunu di Cirebon. Berbagai pertanyaan muncul atas langkanya pelukis kaca. Misalnya, kenapa banyak seniman merasa enggan untuk mengembangkan medium tersebut? Apakah disebabkan oleh daya apresiasi masyarakat terhadap seni lukis kaca masih rendah sehingga kesulitan pula di dalam menjualnya?

Kini fungsi seni memang tidak melulu untuk medium ekspresi tapi juga mesti memikirkan pasar, karena seni juga merupakan sebuah komoditas. Di tengah dominasi pasar seni lukis yang konvensional maka keberadaan seni dan seniman lukis kaca nampaknya cukup berat. Dengan demikian kita perlu "angkat topi" terhadap Haryadi Suadi yang secara konsisten menggeluti serta mengembangkan seni lukis kaca kontemporer selama ini.

Meskipun ia juga melukis dengan medium lain seperti kanvas dan teknik cetak saring (sablon) namun medium kaca secara konsisten digelutinya.

Menurut sejarah, tradisi seni lukis kaca masuk ke Cirebon melalui pedagang-pedagang Cina yang awalnya bertujuan melayani keperluan orang-orang Cina di perantauan terhadap kebutuhan cermin bergambar. Sebelumnya barang-barang tersebut didatangkan langsung dari Cina tapi selanjutnya diproduksi di Cirebon.

Kemudian tradisi dan keahlian melukis pada medium kaca tersebut menyebar dan dimanfaatkan untuk fungsi yang lain termasuk lukisan kaca yang kita kenal sekarang ini.

Haryadi tidak hanya terkesan dengan mediumnya saja tapi juga dengan seni lukis tradisional "Cirebonan" yang kaya sebagai hasil akulturasi dengan kebudayaan lain. Misalnya Rajah Pawukon yang berasal dari astrologi Jawa, burung Hong atau Phoenix, Naga atau Liong dari Cina, wayang, isim atau rajah hingga stilasi manusia versi Jawa kuno.

Idiom-idiom visual tersebut banyak diketemukan dalam karya-karya Haryadi untuk digabungkan dengan idiom atau teknik lainnya sebagai upaya mengembangkan seni lukis kaca kontemporer ke arah yang lebih kreatif. Baginya objek-objek tersebut tidak lebih sekadar sebuah stimulir untuk dikembangkan lagi secara bebas dan kreatif.

Objek dan bentuk isim-isim tersebut dinilai sebagai sebuah kaligrafi yang perlu diolah lagi bukan sebuah objek keramat yang memiliki kekuatan supra natural sehingga perlu ditiru persis. Makanya jangan berharap untuk dapat membaca surat-surat tersebut secara lengkap karena bagi Haryadi tulisan tersebut hanyalah salah satu elemen di dalam lukisannya

Selain ketertarikan terhadap objeknya, Haryadi pun banyak mengeksplorasi segi teknis untuk memperkaya idiom-idiom visualnya. Kecenderungan ini diperlihatkannya dalam menampilkan bidang-bidang warna yang tidak rata, bersifat kasar berupa barik-barik yang meninggalkan bekas sapuan kuas yang masih basah atau akibat torehan benda tajam.

Hasilnya malahan lebih menarik memberikan kesan sebuah kehangatan dan bertolak belakang dengan sifat medium kaca yang licin dan dingin.

Demikian pula saat menarik beberapa garis sebuah objek, garisnya memberikan kesan ekspresif melalui tarikan garis tipis-tebal sebagai efek spontan yang tidak terduga akibat goresan benda tajam di atas cat basah. Garis-garis dengan ketebalan yang tidak rata atau terputus-putus ternyata memberikan kesan sebuah garis yang sensitif dan dinamis.

Haryadi seolah ingin menempatkan medium kaca tidak ada ubahnya seperti bidang kanvas atau medium cukil kayu. Padahal teknisnya jauh berbeda karena dalam mengolah medium kaca perlu dipikirkan penempatan warna atau garis yang paling muka atau terdepan lalu warna selanjutnya sebagai latar belakang.

Jika terjadi kesalahan penempatannya maka warna tersebut perlu dihapus lagi. Berbeda dengan kanvas jika warnanya tidak sesuai dapat ditimpah kembali atau dicampur dengan warna lain.

Bicara lukis kaca Cirebon, rasanya tak bisa melepaskan nama Rastika. Dialah yang bisa digolongkan sebagai salah satu perintis munculnya lukis kaca di Cirebon. Awal-awal tahun 1980-an makin banyak bermunculan pelukis kaca, dan Rastika yang menjadi titik pandang para seniman lukis kaca di kota itu.

Artinya orientasi karya para pelukis kaca mengacu pada karya-karya Rastika. Betapapun karya-karya Rastika lebih rumit, dan membutuhkan kecermatan dalam penggarapan.

Karya lukis kaca waktu itu, menggunakan satu jenis cat cap kuda terbang, dengan warna-warna dasar hitam, putih, biru, dan merah. Tema-tema lukisannya sangat terbatas, pada dunia pewayangan, kuda berkepala perempuan dan Kaligrafi Arab, yang umumnya berbentuk macan ali (macan sebagai simbol Keraton Kasepuhan Cirebon).

Dalam melukiskan wayang pun, terbatas pada wayang kulit, asli wujud wayang kulit yang dipindahkan ke media kaca. Karena melukisnya menggunakan mal maka karya-karya seni lukis kaca bisa secara persis dilukis berulang-ulang. Karena itu pula seni lukis kaca lebih merupakan barang kerajinan, yang bisa digandakan sampai berapa pun.

Pada pertengahan tahun 1980-an muncul tema-tema baru yang mengangkat dari motif-motif batik Trusmi, sebuah wilayah di Cirebon yang merupakan sentra batik. Karya-karya lukis kaca yang kemudian muncul adalah motif-motif dekoratif, dengan gambar Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada era ini muncul seniman lukis kaca Umbara Wijayakusuma. Pendeknya pada awal-awal 80-an, tema lukis kaca masih sangat sempit dan berjalan dalam karya itu-itu saja.

Baru tahun 1987, ketika Toto Sunu muncul menjadi seniman lukis kaca, mulai terjadi pengembangan yang berangsur-angsur terus menuju pembaruan, baik segi tema maupun teknik lukis kaca. Bahkan di kalangan seniman Toto Sunu bukan hanya dikenal sebagai pelopor pengembangan tema maupun temuan-temuan teknik lukis kaca, tetapi juga seniman yang dianggap menjadikan seni lukis kaca sebuah karya seni, bukan hanya sekadar kerajinan. prb/kcm

Tidak ada komentar: