13 Februari 2008

Lukisan Kaca Makin Kaya Tema

Lukisan kaca diperkirakan sudah berkembang pada akhir abad ke-19. Tema yang dipilih biasanya tokoh-tokoh wayang atau kaligrafi. Meskipun tidak lagi berfungsi sebagai pajangan saja, lukisan kaca masih terpaku pada pakem dan tradisi. Kini lukisan kaca bisa mewakili ekspresi pelukis bahkan keadaan zaman.

Fenomena itulah yang terlihat dari pameran lukisan di atas kaca yang digelar di Bentara Budaya Jakarta , Jl Palmerah Selatan 17, Jakarta Pusat. Pameran yang bertema "Tradisi dan Perkembangannya" ini berlangsung hingga 17 Juli 2004. Pameran ini diikuti oleh sejumlah seniman dari Cirebon , Bandung , Yogyakarta, dan Bali .

Keberagaman tema terlihat pada sejumlah karya meskipun pelukisnya berasal dari daerah yang sama. Fenomena ini makin menarik jika dilihat dari pilihan tema. Mereka tampaknya tidak lagi berkutat pada tradisi. Para pelukis mulai menaruh minat pada tema-tema yang lebih bebas. Tak terkecuali politik, kritik sosial dan humor. Sebagian dari mereka mungkin malah lebih berani dan nakal dari pelukis kanvas.

Simak saja, karya pelukis Subandi Giyanto yang berjudul Melik Nggendong Lali. Pelukis kelahiran Yogyakarta 22 Juni 1958 ini memang masih menaruh minat pada dunia pewayangan. Tetapi Giyanto cukup kreatif dengan kritik sosial terhadap penguasa. Objek lukisan Giyanto menampilkan tokoh ningrat duduk di kursi sambil memangku dua perempuan, dengan pongah.

Lain lagi, lukisan karya Maryono. Meskipun hanya tamatan SMP, pelukis kelahiran 12 Juli 1938 ini tampaknya cukup akrab dengan kritik sosial. Judul Obral Janji sedikit banyak menjelaskan pandangannya terhadap aktivitas politikus. Di lukisan itu, dia menggambar tokoh politik berpidato di hadapan orang-orang yang sedang tertidur.

Lukisan lain karya Maryono tak kalah pedas. Lewat judul Rebutan Dhingklik Ongklak-angklik (Berebut Kursi ), dia menyindir konflik seputar pemilihan presiden. Maryono sekaligus mewakili perkembangan baru atau pergeseran minat seniman lukis kaca terhadap pilihan tema. Padahal, banyak pelukis kaca yang mempertahankan pakem dan unsur tradisi yang telah diwariskan selama bertahun-tahun.

Menurut kurator Ipong Purnama Sidhi, dalam katalog, sebuah lukisan pada selembar kaca ternyat abisa menjadi wadah yang menampung uneg-uneg, usaha mengkritik. Tak ubahnya sebuah karikatur yang dimuat pada sebuah surat kabar. Bedanya, karikatur bisa mencerminkan kredo, sikap, visi dan misi serta karakter sebuah surat kabar. Sementara lukisan kaca adalah murni pikiran sang pelukis yang acapkali dianggap kenthir atau agak kurang waras.

Ipong menambahkan corak, gaya termasuk tema terus mengalami pertumbuhan, pembaruan juga pergeseran. Namun berangkat dari satu titik bernama kreativitas. Kreatif dalam mengolah, menyeleksi, menuangkan ide, mengeksekusi dalam teknik gambar yang prima. Kreativitas juga menjadikan lukisan kaca terus mengalami perkembangan.

Saat ini, kata Ipong, muncul semangat revivalitas (kebangkitan kembali) lukisan di atas kaca yang berkembang terengah-engah dan kembang kempis karena kurangnya kegiatan pameran lukisan jenis ini dan minimnya promosi dan apresiasi.

Di balik selembar kaca, orang bisa menikmati keelokan garis, warna, pola hias yang memukau. Ada pula suasana segar lewat gambar-gambar tyang lucu penuh humor, sinis. Tetapi menyapa secara santun dengan kritik-kritik yang tepat sasaran.

Teknik melukis di atas kaca memang tak semudah melukis di kanvas. Kalau ada kesalahan di atas kanvas bisa ditimpa dengan cat, tapi kalau di atas kaca harus dihapus semuanya, dan agar jangan sampai kering. Melukis di atas kaca berarti melukis terbalik. Kaca di bagian depan memperlihatkan detail-detail lukisan yang indah. Di bagian, itulah ditampilkan panorama alam, tokoh pewayangan, kaligrafi, dan satwa. Lukisan yang terdapat pada akaca itu lalu diberi bingkai yang berukir dengan warna kuning emas. Sementara kaca bagian belakang tempat menggoreskan kuas yang sudah dibubuhi cat ditutup dengan tripleks.

"Melukis di atas kaca tingkat kesulitannya cukup tinggi," kata Toto Sunu (43) alias Priyanto Sunu, pelukis kelahiran Purwokerto, Jateng yang kini bermukim di Cirebon .

Menurut Toto Sunu, teknik melukis di atas kaca telah ditekuninya selama puluhan tahun. Dia terbiasa melukis di atas kaca berukuran sekitar 1,5 meter lebih. Bakat melukisnya memang menonjol sejak masih kanak-kanak. Awalnya melukis objek pemandangan dan potret, dan mulai menekuni lukisan kaca.

Pelukis kaca senior Rastika (62) belajar melukis dengan media kaca sejak dia berusia 10 tahun. Rastika belajar melukis dari dalang Sudarga Lesek, dan kemudian melukis di atas kaca di bawah binbingna dalang Maruna. Selain dia belajar menyungging wayang dan memahat.

"Saya sekarang punya sekolah khusus melukis di atas kaca dan memahat kayu. Di sini saya juga membuka bimbingan Tari Topeng," tutur Rastika yang hanya sekolah sampai di kelas V SD.

Selain pelukis senior kelahiran Cirebon , Rastika juga membuka cakrawala baru bagi para pelukis yunior. Pertemuannya dengan Menparpostel (waktu itu) Joop Ave dan pelukis Hariadi Sutadi dari ITB membuka kesempoatan untuk berpameran bersama sejumlah pelukis lain. Tahun 1984 berpameran di Bentara Budaya Jakarta dan diulang kembali tahun 1996.
SUARA PEMBARUAN DAILY

Tidak ada komentar: